Cerpen
Romantis” 4th Anniversary”
Jihan
menatap lembar terakhir kalender duduk yang ada di atas meja kerjanya dengan
tatapan bimbang. Ia menghela napas dan tatapannya terpaku pada sebuah tanggal
yang diberi tanda hati dengan tinta warna merah.
“Han,
kamu nggak balik?” tanya Tiara yang menghampiri meja kerjanya sambil
menyampirkan sebuah tas di bahu. Jihan mengangkat kepalanya menatap rekan
kerjanya tersebut.
“Iya,
ini mau balik kok,” jawab Jihan sambil tersenyum tipis. Tiara mengangguk-angguk
mengerti, “Mau balik sama aku nggak? Atau kamu dijemput Aditya?”
Jihan
sekilas melirik ponselnya lalu kembali tersenyum, “Terima kasih, Ra. Aku
dijemput Adit.”
“Oh,
ok deh. Kalau begitu, aku balik duluan ya,” ujar Tiara sambil lalu meninggalkan
Jihan yang masih malas bangkit dari kursinya. Ia berbohong. Adit tidak berjanji
menjemputnya. Adit bahkan tidak menghubunginya hari ini. Jihan hanya tidak
ingin merepotkan Tiara.
Aditya
adalah kekasih Jihan selama hampir 4 tahun. Waktu yang cukup bernilai untuk
mereka. Jihan masih mengingat bagaimana Adit mengungkapkan perasaannya tepat di
malam tahun baru. Di bawah percikan kembang api yang berwarna-warni, Adit
mengungkapkan seluruh rasa yang tersimpan selama hampir 1 tahun pendekatan.
Saat itu mereka sama-sama duduk di bangku kuliah semester 3 akhir. Yah, waktu
memang telah bergulir cukup lama. Kini mereka telah berada di dunia dimana
mereka mencoba meniti karir untuk mengejar impian mereka. Waktu memang mampu
mengubah.
“Kamu
dimana?” tanya Jihan begitu ia berada di café dimana Adit janji untuk datang
menemuinya sepulang kerja hari ini.
“Aku
sedang dalam perjalanan. Tadi ada liputan mendadak sebentar,” terdengar suara
Adit di ponselnya. Jihan melirik arlojinya. 1 jam telah berlalu melewati waktu
perjanjian mereka.
Sekitar
15 menit kemudian, Adit datang sambil merapikan rambutnya yang terlihat kacau.
Ia menatap Jihan yang telah memasang wajah masam sambil mengaduk-aduk
minumannya yang hanya menyisakan sisa-sisa batu es.
“Maaf,
aku terlambat,” Adit duduk di hadapan Jihan.
“Lagi,”
Jihan menambahkan dengan ketus.
“Ya,
tiba-tiba ada liputan mendadak tadi. Terjadi tawuran antar golongan masyarakat
di jalan…”
“Aku
bisa membacanya di koran terbitan besok,” Jihan masih terdengar ketus membuat
Adit kehabisan kata-kata. Ini bukan yang pertama. Pertengkaran ini adalah yang
kesekian kalinya.
“Kenapa
kita harus terus-menerus bertengkar?”
“Aku
juga menanyakan hal yang sama, kenapa kita harus bertengkar lagi? Kenapa kamu
selalu terlambat lagi? Kenapa kamu selalu mementingkan pekerjaan daripada aku?
Kenapa kamu mulai berubah? Pertanyaan itu terus muncul di pikiranku,” ucap
Jihan dengan kesal. ia menanti jawaban Adit yang sepertinya tidak punya
jawaban.
Adit
mengalihkan tatapannya ke arah lain. Seperti sudah jengah dengan tuntutan atas
segala pertanyaan Jihan.
“Kamu
ingin bagaimana?” tanya Adit akhirnya. “Apa kamu ingin kita mengakhiri
segalanya?”
Jihan
terdiam dan menatap Adit tak percaya. Ia tak menyangka Adit akan menawarkan
akhir sebagai sebuah solusi.
“Mengapa
kamu begitu mudah mengatakannya?” kedua bola mata Jihan mulai berkaca-kaca.
“Aku
hanya lelah. Lelah karena kamu tidak pernah mencoba mengerti sedikit pun. Aku
lelah selalu mengalah dan menjelaskan,” suara Adit terdengar berat.
“Begitu
kah? Hanya sebatas itu?” tanya Jihan masih tak percaya dengan penuturan Adit.
Mereka saling berdiam diri bertahan dengan ego masing-masing. Adit menghela
napas berat dan menyerahkan keputusan pada gadis itu.
Jihan
membuang wajah ke arah lain. Tanpa terasa air matanya meluncur begitu saja
membasahi pipi. Beberapa kali Jihan mencoba menyekanya sendiri. Adit tak tahan
melihat gadis itu menangis. Akhirnya, ia harus mengalah lagi.
“Maafkan
aku, aku tidak bermaksud sama sekali. Aku hanya merasa begitu lelah dengan
keadaan kita. Aku hanya ingin mencoba kamu mengerti dengan kehidupan aku.”
Jihan
masih tak mau menatap Adit. Ia meraih tas tangannya dan berjalan meninggalkan
pria itu. Ia berjalan dengan langkah lebar dan bergegas, meninggalkan Adit yang
menyusulnya.
Dengan
cepat, Jihan menyetop sebuah taksi dan pergi. Adit hanya menatap sisa
bayang-bayang Jihan sambil mengutuk dirinya sendiri atas kebodohannya.
Sedangkan
Jihan masih menangisi perkataan Adit. Bukan itu solusi yang ingin ia dengar
dari pria yang sudah dipercayainya sebagai jodoh yang dikirim tuhan untuknya.
Ia ingin Adit sedikit lebih memedulikannya.
Jihan
sadar, hubungannya dengan Adit sedang dalam masa kritis. Hanya menanti siapa
yang akan mengakhiri duluan dan siapa yang akhirnya memutuskan.
Seperti
biasa, Adit selalu lupa. Pekerjaannya sebagai jurnalis seakan mampu menyita
seluruh waktunya.
“Dalam
satu hari kamu memiliki 24 jam, 1440 menit, 86400 detik. Tidak bisakah kau
luangkan 1 jam untuk menemuiku? 1 menit untuk menanyakan keadaanku? Atau, 1
detik hanya untuk sekedar mengingatku?” tanya Jihan di suatu sore.
Adit
terdiam. Karena ada deadline liputan, ia nyaris tidak menghubungi Jihan dalam 2
hari. Kekesalan Jihan sampai pada puncaknya. Ia mendatangi tempat kerja Adit
dan menunggu untuk bertemu dengannya.
“Aku
juga merasa lelah dengan hubungan kita. Sekarang semua terserah kepadamu. 4
hari lagi adalah tanggal 31 Desember. Pada malam tahun baru, akan menjadi tahun
keempat kita bersama. Aku tidak tahu, apakah ada 4th anniversary atau tidak.
Sampai tiba pada tanggal itu, mari kita untuk tidak saling berkomunikasi. Mari
kita sama-sama berpikir tentang perasaan kita masing-masing,” ujar Jihan dengan
menahan emosinya.
“Cemara
Asri. Tempat itu akan menentukan arti 4th anniversary itu. Jika harapan itu
masih ada, mungkin kita akan bertemu di sana. Namun, jika tidak. Itu artinya
salah satu ataupun kita berdua telah menyerah pada waktu,” lanjutnya.
Jihan
melangkah pergi meninggalkan adit yang masih tak paham sepenuhnya apa keinginan
Jihan. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pada malam tahun baru kali ini ia
harus meliput acara tahun baru yang diselenggarakan walikota di Lapangan
Merdeka Medan. Seketika, ia dihadapkan pada sebuah keputusan berat.
—
“Han,
mama kok akhir-akhir ini jarang sekali lihat Adit datang ke rumah?” tanya mama
Jihan yang melihat putrinya sedang duduk menonton televisi di ruang keluarga.
Jihan
pun segera menoleh, menatap mamanya dengan bimbang. “Adit sedang sibuk dengan
pekerjaannya, Ma,” jawab Jihan akhirnya dengan lirih.
“Oh,
begitu. Mama kira kalian sudah tidak berpacaran lagi atau mungkin sedang
bertengkar.”
Seolah
bisa membaca raut wajah putrinya, mama Jihan segera melanjutkan kata-katanya.
“Jika dia begitu sibuk, maka kamu yang harus lebih memerhatikannya. Seperti
papamu, jika sudah terlalu serius dengan pekerjaannya, jangankan mengingat
mama, untuk ingat makan saja pun ia lupa.”
Jihan
terdiam sesaat karena merasa mamanya mampu mengetahui apa yang sedang terjadi
sekarang. Ia tak banyak komentar, membiarkan mamanya mengatakan apa yang
seharusnya ia lakukan.
“Jika
dia lupa untuk peduli dan kamu juga terlalu gengsi untuk peduli maka yang ada
hanyalah kekosongan. Cinta bukan hanya tentang bagaimana kamu memulai, tapi
bagaimana kamu bertahan dan mempertahankan.”
Dada
Jihan terasa begitu lega mendengar kata-kata mamanya. Ia seakan mendapat sebuah
renungan. Sekarang ia hanya perlu berpikir dengan jernih, apakah ia masih bisa
bertahan dan mampu mempertahankan?
Tepat
tanggal 31 Desember, Jihan duduk di sebuah kafe untuk mengisi sore harinya
sepulang kerja. Kafe itu adalah kafe dimana ia biasa menghabiskan waktu bersama
Adit berdua. Begitu banyak cerita yang mengalir di sana.
Jihan
memilih meja paling pinggir di dekat kaca jendela yang berbatas dengan jalanan
kaki lima depan kafe. Dengan secangkir espresso hangat, Rachel menggerakkan
jari telunjuknya di layar ponsel yang kini sedang menampilkan beberapa foto
yang merekam jejak kenangan di antara ia dan Adit. Oh, Jihan benar-benar
merindukan masa-masa itu.
Ia
masih ingat dengan jelas, bagaimana pertama kali ia bertemu Adit di sebuah
acara kampus. Saat itu Adit masih bergabung dalam sebuah komunitas jurnalis
kampus. Jihan dan Adit memang satu kampus, namun berbeda jurusan. Adit adalah
mahasiswa ilmu komunikasi, sedangkan Rachel sendiri mahasiswi akutansi.
Adit
adalah kekasih pertama Jihan dan selalu berharap menjadi yang terakhir juga.
Begitu banyak impian yang telah mereka rajut bersama.
Namun,
sekarang Jihan duduk sendiri sambil memikirkan keputusan yang akan diambilnya
kelak. Segala memori tentang kebersamaannya dengan Adit muncul begitu saja
bagai potongan film.
Jihan
menyesap minumannya lalu memandang langit sore itu melalui jendela café. Mendung,
seakan menggambarkan perasaan Jihan saat ini.
“Apakah
kita masih bisa terus bersama? Langit bahkan tak berpihak pada kita,” ujar
Jihan pelan sambil menyesap kembali cangkir kopinya.
—
“Dit,
kamu sudah berada di Lapangan Merdeka kan?” tanya Jaka, senior Adit di media
cetak tempatnya.
“Ya,
bang. Bentar lagi aku sampai di sana,” jawab Adit kemudian mengakhiri
pembicaraannya. Ia menatap ponselnya dengan tampang bimbang. Kurang dari 5 jam
lagi, tahun akan berganti. Selama 3 tahun terakhir, ia selalu melewati moment
pada tanggal yang sama bersama Jihan.
Namun,
tahun ini ia malah berdiri di pinggiran ruko jalanan kota Medan untuk berteduh
dari guyuran hujan yang turun dengan derasnya seorang diri. Adit kembali
menghela napas.
Ia
marah pada Jihan yang tidak pernah mau mengerti bahwa mereka sekarang sudah
memasuki fase dewasa. Ia harus bekerja untuk memberikan kehidupan yang baik
kelak kepada Jihan, tapi mengapa gadis itu masih tak mau memahaminya.
Adit
merapatkan jaketnya untuk menepis rasa dingin yang menerpa. Pandanganya teralih
oleh dua orang yang juga sedang berteduh di pelataran ruko tersebut. Pria dan
wanita itu terlihat seperti sepasang kekasih. Pria tersebut melepas jaketnya
dan memberikannya pada wanita yang ada di sisinya. Mereka lalu asyik bercerita,
mengabaikan Adit yang mematung di sana.
Adit
hanya menelan rasa pahit di kerongkongannya. Ia tak ingat kapan terakhir kali
melakukan hal itu pada Jihan. Ia tak ingat kapan terakhir kali bercerita
panjang lebar dengan gadis itu.
“Aku
harus bagaimana Jihan? Aku harus bertindak apa? Apa kita harus mengakhirinya
begitu saja?” ujarnya dalam hati lalu menunduk. “Tidak, Jihan. Aku tidak mau.”
Adit
segera kembali mengendari sepeda motornya menembus hujan. Ia melaju ke Lapangan
Merdeka dimana ia harus mendapatkan berita malam itu.
Lapangan
Merdeka yang juga dikenal dengan Merdeka Walk merupakan kawasan muda-mudi kota
Medan yang malam itu dipenuhi sesak oleh pengunjung meskipun hujan tengah
turun.
Walikota
yang dijadwalkan akan hadir pukul 8 tak kunjung datang meski jam telah
menunjukkan pukul 10 malam. Adit memperhatikan arlojinya dengan kesal.
Tiba-tiba
seseorang menepuk pundak Adit. Seorang wanita berambut pendek tersenyum lebar,
“Dit, kamu ngeliput di sini?”
“Iya,”
jawabnya pada Dhea yang adalah rekan kerjanya sesama jurnalis.
“Loh,
kamu ngeliput di sini juga?”
“Ah,
nggak. Aku udah selesai ngeliput tadi. Jadi, sekedar main-main aja di sini
bareng temen,”
Adit
berpikir sejenak lalu segera menatap Dhea penuh harap. “Dhe, please bantu aku
kali ini aja. Bisa nggak gantiin aku ngeliput acara malam tahun baru bersama
Bapak Walikota,”
Dhea
memandang Adit tidak yakin. “Sebenarnya, aku sih mau bantu kamu, Dit. Tapi…”
kata-kata Dhea terpotong.
“Mungkin
kamu bakal bilang aku nggak professional jika aku menjelaskan alasannya, tapi
ini benar-benar penting buat aku, Dhe.”
Dhea
menimbang-nimbang permohonan Adit. “Tapi, bagaimana kalau bang Jaka marah,
Dit?”
“Aku
yang akan menjelaskannya nanti pada dia, Dhe. Kamu mau kan bantu aku?”
Akhirnya
Dhea mengangguk. “Ok, Dit. No problem.”
“Thank
you, Dhe udah mau bantu aku.”
“That’s
friend are for,” ujar Dhea sambil tersenyum. Adit pun segera bergegas
meninggalkan Lapangan Merdeka menuju Komplek Cemara Asri yang memang selalu
ramai saat hari-hari besar terutama perayaan tahun baru.
Hujan
yang sempat mengguyur kota Medan perlahan-lahan mereda. Namun, kemacetan parah
tak bisa terhindari. Sebagian besar orang dengan kendaraannya ingin melewati
tahun baru dengan berjalan-jalan dan menambah kepadatan jalan raya.
Adit
melirik arlojinya lagi dari balik helmnya. Di dalam hati ia merasa was-was.
“Akankah Jihan berada di sana? Masihkan Jihan ingin melewati tahun baru itu
dengannya?” tanyanya dalam hati.
Adit
menyadari hal itu dalam hati. Ia memang sulit meluangkan waktu untuk Jihan
akhir-akhir ini. Ia mengira hal itu bukan masalah dan berharap Jihan mau
memahaminya. Namun, ia mulai merasa, ada sesuatu yang lebih menakutkan daripada
kehilangan sebuah pekerjaan yaitu kehilangan orang yang dicintainya.
—
Jihan
berjalan menelusuri pelataran ruko yang kebanyakan membuka rumah makan seafood
di kanan dan kiri. Hujan perlahan mulai reda. Para pemilik rumah-rumah makan
seafood itu mulai kembali merapikan susunan meja-meja mereka untuk menyambut
para pengunjung yang tampak memilih-milih tempat makan.
Puluhan
orang memilih berjalan kaki dan memarkirkan mobil-mobil mereka di sepajang
jalan boulevard tersebut. Ya, Komplek Cemara Asri seakan telah menjadi sebuah
kota sendiri dengan berbagai fasilitas yang mereka punya. Pertunjukkan
Barongsai yang sudah menjadi tradisi di setiap perayaan hari-hari besar yang
bukan hanya imlek juga ikut meramaikan suasana.
Tujuan
utama para pengunjung adalah sebuah taman di tengah-tengah komplek yang sangat
luas. Dari sanalah muncul puluhan kembang api yang mulai perlahan-lahan menghiasi
langit.
4
tahun lalu, Jihan mengujungi tempat yang sama bersama Adit yang masih berstatus
teman. Dan di bawah percikan cantik bunga api itu, Adit mengungkapkan
perasaannya.
Rasanya
baru kemarin semua itu terjadi. Kebersamaan itu, rasa berdebar-debar itu, rasa
malu-malu itu, semuanya terasa baru saja terjadi kemarin.
Namun,
kini Jihan malah berjalan seorang diri. Menanti dengan cemas, apakah Adit
memutuskan hal yang sama dengannya, memilih untuk bertahan dan mempertahankan?
Ataukah Adit malah memilih untuk menyerah, melepaskan hati Jihan yang telah ia
perjuangkan dulu? Jihan mulai takut dengan pemikirannya sendiri.
Ia
duduk di sebuah bangku, memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Beberapa
pasangan membuat hatinya miris. Beberapa kembang api yang meluncur ke langit
tak mampu mengindahkan malam itu bagi Jihan. Hanya ada satu orang yang bisa
membuat malam itu sempurna, “Adit, I wish you were here.”
—
Adit
mengklakson kendaraan di depannya tak sabar. Begitu banyak kendaraan yang
berlomba masuk ke komplek Cemara Asri membuat jalanan bertambah padat merayap.
Untuk kesekian kalinya, Adit melirik arlojinya. 15 menit lagi menjelang
pergantian tahun. Dengan mencoba sabar, Adit terus mengikuti kepadatan
kendaraan tersebut.
Akhirnya,
Adit tiba di parkiran sepeda-sepeda motor. Setelah memarkirkan sepeda motornya,
Adit berlari menuju pusat taman yang masih sekitar 500 meter lagi. Deru-deruan
terompet, letusan kembang api di langit, teriakan riuh orang-orang yang mulai
bersiap menghitung mundur tahun baru, mengiringi langkah Adit yang tengah
berlari mencari kekasih hatinya.
“5
menit,”
“4
menit,”
“3
menit lagi,”
Adit
mengedarkan pandangannya di antara ratusan manusia yang memenuhi taman
berdiameter kurang lebih 300 meter tersebut mencari sesosok gadis.
“10…
9… 8…” deruan suara orang-orang yang telah menghitung mundur setiap detik
menuju tahun baru.
“7…
6… 5… 4… 3… 2… 1… Selamat tahun baru…”
Adit
menatap langit dengan dengan pasrah. Langit malam itu sangat indah.
Kegelapannya terkalahkan oleh perpaduan warna percikan kembang api. Andai saja,
ia bisa melihatnya bersama Jihan yang sangat menyukai kembang api.
Adit
mengalihkan pandangannya dan mulai memutar tubuhnya untuk melihat ke
sekelilingnya. Dan, tak jauh darinya, di antara orang-orang yang bersorai-sorai
meluapkan kegembiraan, Adit melihat sesosok gadis yang berdiri sambil
memejamkan matanya. Tidak bersorai seperti yang lainnya.
“Jihan,”
sebut Adit dengan perasaan sedikit lega. Ia segera melewati beberapa orang yang
menghalangi jalannya dengan cepat. Gadis itu hanya tinggal beberapa langkah
darinya.
“Jihan,”
sebutnya lagi di hadapan gadis yang masih memejamkan matanya.
Tepat
di saat hitungan mundur tahun baru mendekati angkat 1 tadi, Jihan yang tengah
pasrah menanti kedatangan Adit segera memejamkan kedua matanya. Ia melewatkan
pesta kembang api yang yang menari indah di langit. Ia tak mau melihatnya sama
sekali.
Kini
dalam kegelapan, Jihan mendengar suara pria itu menyebut namanya. Jihan sempat
ragu untuk membuka matanya. Bagaimana jika saat ia membuka kedua matanya, ia
hanya mendapati Adit tidak ada di hadapannya? Bagaimana kalau suara itu hanya
khayalan atas kerinduannya saja?
“Happy
4th anniversary, Jihan,” bisik Adit dan akhirnya membuat gadis itu membuka
matanya.
“Adit,”
ujar Jihan hampir menangis saat melihat pria itu tersenyum di hadapannya.
Senyuman yang begitu ia rindukan.
“Maafkan
aku, selama ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku dan mengabaikanmu. Aku
sadar tindakanku tidak benar. Aku terlalu egois. Tapi, satu hal yang harus kamu
tahu, Jihan. Perasaanku padamu takkan berubah sedikit pun. Aku masih
mencintaimu sama seperti pertama kali bertemu.”
Bulir-bulir
air mata Jihan meleleh begitu saja. Ia segera memeluk Adit begitu erat. “Adit,
I miss you. Aku janji akan menjadi yang terbaik untukmu.”
Mereka
saling merangkul cukup lama dengan doa dan harapan di dalam hati mereka
masing-masing. Namun, dengan nada doa yang sama, berharap tahun-tahun
berikutnya untuk tetap bersama.
“Ini
bukan akhir, ini adalah awal. Awal untuk impian bersama yang lebih besar lagi.
bersamamu,” ujar Adit.
Akhirnya
mereka menikmati sisa-sisa kembang api di langit sambil memandangi danau burung
yang masih berada di tempat yang sama. Ratusan burung bangau berwarna putih
yang berkumpul di daratan-daratan kecil di atas danau terlihat begitu indah
seperti kapas.
Adit
dan Jihan berbagi cerita berdua. Tentang impian dan masa depan.
“Oh,
ya,” ucap Adit di sela-sela pembicaraan mereka. Jihan memandang Adit ingin tahu
apa yang akan dikatannya pria itu.
“Kenapa
kamu terlihat memejamkan mata saat pesta kembang api tadi, bukannya kamu sangat
menyukai kembang api?” tanya Adit.
Jihan
tersenyum lembut membiarkan Adit menanti jawabannya dengan penuh penasaran.
“Karena
aku ingin, kamu menjadi yang pertama aku lihat di tahun baru ini, bukannya
kembang api,” ujar Jihan tersipu.
Adit
segera tersenyum lebar sambil mencubit pipi Jihan, “Bagaimana kalau aku tidak
datang tadi, pasti orang-orang mengira kamu tertidur.”
“Karena
aku percaya kamu pasti datang, walaupun harus terlambat lagi.” Jihan
menyandarkan kepalanya di bahu Adit dengan nyaman.
Cerpen
Karangan : Irna Junita
Blog :
irnajo.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar