Senin, 16 Maret 2015

Runtuhnya Kerajaan Demak

Runtuhnya Kerajaan Demak


Menurut Babad Tanah Jawi, Sultan Trenggana  mempunyai enam orang putra. Putra sulung adalah seorang putri yang dinikahi oleh Pangeran Langgar, putra Ki Ageng Sampang dari Madura. Putra ke dua seorang laki-laki yang bernama Pangeran Prawata yang kelak menggantikan ayahnya menjadi Sultan Demak ke tiga.
Putra ke tiga seorang putri yang menikah dengan Pangeran Kalinyamat. Putra ke empat juga seorang putri yang menikah dengan seorang pangeran dari Kasultanan Cirebon.  Putra ke lima juga putri menikah dengan Raden Jaka Tingkir yang kelak menjadi Sultan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Ada pun putra bungsu adalah Pangeran Timur, yang masih sangat muda ketika ayahnya wafat.


  • Runtuhnya Kerajaan Demak
Perebutan tahta kerjaan Demak dimulai setelah meninggalnya Raja Kedua yaitu Pati Unus. Peristiwa ini menimbulkan peperangan  berkepanjangan yang berakhir dengan kehancuran kerajaan. Perebutan kekuasaan terjadi antara keturunan Pangeran Sekar dengan Pangeran Trenggana.  Kedua pangeran ini memang berhak menduduki tahta Kesultanan Demak. Dari segi usia, Pangeran Sekar  lebih tua sehingga merasa lebih berhak atas tahta Kesultanan Demak dari pada Pangeran Trenggana. Namun Pangeran Sekar lahir dari istri ke tiga Raden Patah, yaitu putri Adipati Jipang, sedangkan Pangeran Trenggana lahir dari istri pertama, putri Sunan Ampel.  Oleh karena itu Pangeran Trenggana merasa lebih berhak menduduki tahta Kesultanan Demak (Djuliati Suroyo dkk, 1995: 29 dan Slamet Mulyono, 1968: 120).

Pangeran Prawata, putra Pangeran Trenggana, membunuh Pangeran Sekar yang dianggap sebagai penghalang bagi Pangeran Trenggana untuk mewarisi tahta Kesultanan Demak. Pembunuhan terjadi di sebuah jembatan sungai saat Pangeran Sekar dalam perjalanan pulang dari salat Jum’at.  Oleh karena itu, ia dikenal dengan nama Pangeran Sekar Seda Lepen. Menurut tradisi lisan di daerah Demak, pembunuhan itu  terjadi di tepi Sungai Tuntang, sedang menurut tradisi Blora Pangeran Sekar dibunuh  di dekat Sungai Gelis.

Pembunuhan  ini menjadi pangkal persengketaan di Kerajaan Demak. Raden Arya Penangsang, putra Pangeran Sekar berusaha menuntut balas atas kematian ayahnya, sehingga ia berusaha untuk menumpas keturunan Sultan Trenggana. Apalagi ia mendapat dukungan secara penuh dari gurunya. Sunan Kudus.

Suksesi pergantian kepemimpinan pasca wafatnya Sultan Trenggono tidak dapat berjalan mulus dikarenakan terjadi konflik di Kerajaan Demak Bintoro. Faktor penyebab adalah konflik dari intern (dalam kerajaan) dan faktor ekstern (perbedaan pandangan dari para wali sembilan tentang calon pengganti Sultan Trenggono).

Terdapat perbedaan pendapat di antara para Wali. Pendapat Sunan Kalijaga, adalah Hadiwijaya Adipati Pajang menantu Sultan Trenggono yang pantas menggantikan sebagai Raja. Alasannya meski bukan keturunan langsung Raden Patah, tetapi masih mempunyai darah Raja Majapahit. Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa para Wali pernah mengangkat Pati Unus sebagai Sultan Demak, padahal Pati Unus tidak memiliki darah Raja Majapahit. Selain itu sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap Pangeran Hadiwijaya disertai dengan alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan Demak Bintoro akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada di Pedalaman (di Pajang).

Sikap dan pendapat dari Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena apabila pusat kerajaan dipindahkan di pedalaman (Pajang) maka sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawuf, besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “mistik” atau Klenik sedangkan Sunan Kudus sedang mengajarkan ajarannya “Wuluang Reh” / penyerahan. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Hadiwijaya sebagai pengganti dari Sultan Trenggono.
Sunan Kudus berpendapat bahwa Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan, putra Pangeran Bagus Surawiyata/ Raden Kikin yang terbunuh yang berhak sebagai Sultan Demak karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) langsung Sultan Demak dari garis laki-laki yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani. Sunan Kudus meyakinkan bahwa Arya Penangsang memiliki kemampuan dalam tata negara dan merupakan pemimpin yang kharismatik. Sunan Giri berpendapat bahwa  Sunan Prawata, putra Sultan Trenggono yang berhak menjadi Sultan. Alasannya adalah sesuai adat dan hukum. Akhirnya Sunan Prawata diangkat sebagai Sultan.

Konflik intern Kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sedo Ing Lepen yang dibunuh oleh Sunan Prawata (Putera Sulung Sultan Trenggono) ternyata meninggalkan duri dalam hati keturunan Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen, puteranya yang bernama Arya Penangsang merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan, sebab dia beranggapan bahwa yang menduduki kursi mahkota tersebut adalah ayahnya, bukan Sultan Trenggono karena Pangeran Sekar adalah kakak dari Sultan Trenggono dan adik dari Patih Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II) yang memerintah tahun 1518 – 1521 M. Atas dasar inilah Arya Penangsang berusaha untuk merebut dan menduduki tahta kerajaan Demak. Sedangkan faktor ekstern yaitu munculnya aksi saling mendukung dari para wali yang memiliki calon-calon pengganti dari Sultan Trenggono turut mewarnai situasi politik di dalam kerajaan.

Situasi politik semakin meruncing dan tambah memanas, sehingga Arya Penangsang mengambil sikap, karena merasa dialah yang lebih berhak menduduki tahta kerajaan Demak Bintoro, maka dengan gerak cepat terlebih dahulu menyingkirkan Sunan Prawata dengan pertimbangan, Sunan Prawata lah yang membunuh ayahnya, kedua dialah yang menjadi saingan berat dalam perebutan kekuasaan itu, akhirnya Sunan Prawata mati terbunuh beserta isterinya oleh budak suruhan Arya Penangsang / “Soreng Pati” yang bernama “Rungkut”, pada tahun 1546. Setelah Sunan Prawata wafat, ia kemudian membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat. Pangeran Hadiri berhasil dibunuh oleh pengikut Arya Penangsang dalam perjalanan pulang dari Kudus, mengantarkan istrinya dalam rangka minta keadilan dari Sunan Kudus atas dibunuhnya Sultan Prawata oleh Arya Penangsang. Namun Sunan Kudus tidak dapat menerima tuntutan Ratu Kalinyamat karena ia memihak Arya Penangsang. Menurut Sunan Kudus, Sultan Prawata memang berhutang nyawa kepada Arya Penangsang yang harus dibayar dengan nyawanya. Arya Penangsang juga mencoba membunuh Adipati Pajang Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana.

Kematian Sunan Prawata dan Pangeran Hadiri tampaknya membuat selangkah lagi bagi Arya Penangsang untuk menduduki tahta Demak. Meskipun pembunuhan terhadap Sunan Prawata dan Pangeran Hadiri telah berjalan mulus, namun Sunan Kudus merasa belum puas apabila Arya Penangsang  belum menjadi raja, karena masih ada penghalangnya yaitu Hadiwijaya. Atas nasehat Sunan Kudus, Arya Penangsang berencana membunuh Hadiwijaya namun mengalami kegagalan. Kegagalan itu mendorong pecahnya perang antara Jipang dengan Pajang. Di luar dugaan pihak Sunan Kudus dan Arya Penangsang, ternyata Ratu Kalinyamat tampil memainkan peranan penting dalam menghadapi Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat minta kepada  Hadiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang.  Didorong oleh naluri kewanitaannya yang sakit hati karena kehilangan suami dan saudara, ia telah  menggunakan wewenang politiknya selaku pewaris dari penguasa Kalinyamat dan penerus keturunan Sultan Trenggana. Ratu Kalinyamat memiliki sifat yang keras hati dan tidak mudah menyerah  pada nasib. Menurut kisah yang dituturkan dalam  Babad Tanah Jawi,  ia mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore (bertapa dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang diurai). Tindakan ini dilakukan untuk mohon keadilan kepada Tuhan dengan cara menyepi di Gunung Danaraja.  Ia memiliki sesanti, baru akan mengakhiri pertapaanya apabila Arya Penangsang telah terbunuh.

Peperangan antara Pajang dan Jipang tidak dapat terelakkan. Dalam peperangan itu, Arya Penangsang memimpin pasukan Jipang mengendarai kuda jantan bernama Gagak Rimang yang dikawal oleh prajurit Soreng. Adapun pasukan  Pajang dipimpin oleh Ki Gede Pemahanan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani. Pasukan Pajang juga dibantu oleh sebagian prajurit Demak dan tamtama dari Butuh, pengging. Dalam peperangan itu Arya Penangsang terbunuh. Rangkaian peristiwa pembunuhan para kerabat raja Demak hingga perang antara Pajang melawan Jipang itu dalam sumber tradisi terjadi pada tahun 1549. Hal itu merupakan anti klimaks dari sejarah dinasti Demak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bobblehead Bunny

Sample Text

Text Widget

About

Cute Bow Tie Hearts Blinking Blue and Pink Pointer

Blogger news

Blogger templates

Pages - Menu

Popular Posts