Kerajaan
Kampar(Kerajaan Pelalawan)
- Asal Usul Kerajaan Pelalawan
Berasal dari kata dasar
"Lalau", yang berarti "Cadang", disebutlah daerah Pe-lalau-an
atau daerah Pen-cadang-an (tempat yang pernah dicadangkan). Kerajaan ini
merupakan sebuah Negeri yang sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung Negeri, dibawah pimpinan
Maharaja Dinda II sebagai Rajanya (1720 - 1750 M),
dan berdiri dibawah kekuasaan Sultan Johor sebagai Yang Dipertuan
Tinggi.
Diawali sekitar
tahun 1725 M, Maharaja Dinda II memindahkan
Pusat Kerajaan Tanjung Negeri dari Sungai Nilo ke Hulu Sungai Rasau. Hal ini
terjadi dikarenakan wabah penyakit yang menyerang rakyat Tanjung Negeri sejak
masa kekuasaan leluhurnya Maharaja Wangsa Jaya (1686 - 1691 M).
Seiring perpindahan tersebutlah Maharaja Dinda II mengubah nama Kerajaan
Tanjung Negeri menjadi Kerajaan Pelalawan.
- Pertikaian Siak Sri Indrapura dan Pelalawan
Pada Masa Pemerintahan
Maharaja Lela II (1775 M - 1798 M),
banyak kemelut yang terjadi di Kesultanan Johor, yaitu sisa-sisa
pertikaian takhta antara Raja Kecil dan
Bendahara Padang Saujana Abdul Jalil pada tahun 1722. Bendahara Padang Saujana
dan anaknya Tengku Sulaiman (kemudian menjadi Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah
Johor) berpakat dengan Bugis 5 bersaudara (Daeng
Parani, Daeng Merewah, Daeng
Menambun, Daeng Kemasi dan Daeng Chelak) untuk mengusir Raja Kecil
dari takhta Johor. Raja Kecil dikalahkan
dan lari ke Siak menubuhkan Kesultanan
Siak Sri Indrapura yang kekuasaannya mengambil tanah bekas
jajahan Johor di pulau Sumatra. Karena tidak bersedia tunduk dan mengakui
kekuasaan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah akan takhta Johor yang direbutnya,
karena masalah itulah Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor.
Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa penguasa Kesultanan Johor bukan lagi dari
keturunan leluhurnya Sultan Alauddin Riayat Syah II(Malaka) tapi
dari wangsa Bendahara yang merampas takhta.
Sehubungan dengan hal
itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811)
menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakuiKesultanan
Siak sebagai Yang Dipertuannya, mengingat dia adalah pewaris
sah Raja Kecil,
putra Sultan Mahmud Shah
II (SultanJohor terdahulu). Namun Maharaja Lela
II menolaknya sehingga memicu pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan
Pelalawan.
- Serangan Siak Sri Indrapura ke Pelalawan
Dalam catatan sejarah,
terdapat dua kali serangan Pasukan Besar Siak Sri Indrapura ke Pelalawan
melalui air dan darat. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1797 - 1810 M.
Pada perang inilah beberapa Tokoh terkenal muncul, seperti Said Osman Syahabuddin, Datuk Maharaja Sinda, Panglima
Kudin dan gurunya Panglima Katan, Panglima Hitam, Hulubalang Engkok, Cik Jeboh,
Panglima Garang dan sebagainya.
Pada masa itu, Kerajaan
Siak Sri Indrapura melalui penasehat istana mereka yang bernama Said Osman
Syahabuddin (Ayah dari Sultan Syarif Ali penguasa
Siak kala itu), berencana melakukan penyerangan ke Pelalawan melalui jalur air
Sungai Kampar, hal itu dilakukan mengingat benteng pertahanan Pelalawan yang
terletak di kuala Sungai Mempusun. Demi mempersiapkan penyerangannya, Said
Osman Syahabuddin beserta pengikutnya menyiapkan sebuah kapal perang yang
bernama "Kapal Baheram", kapal besar Siak dengan rancangan militer
yang kokoh.
Diperkirakan pada awal
tahun 1797 M, Said Osman Syahabuddin beserta
pasukannya melancarkan serangan ke Pelalawan menggunakan Kapal Baheram.
Setibanya mereka di kuala mempusun, terjadilah peperangan antara pasukan Said
Osman Syahabuddin yang disambut oleh Pasukan Pelalawan dibawah pimpinan
Hulubalang Engkok, perang sengitpun terjadi. Pada pekan pertama, Kapal Baheram
Said Osman Syahabuddin terkena hantaman Meriam dari pasukan Hulubalang Engkok,
Kapal Baheram mengalami kerusakan, dan memaksa Said Osman Syahabuddin
memundurkan sementara pasukannya. Setelah berhasil mundur, Said Osman
Syahabuddin beserta awak kapalnya mendiami suatu teluk, yang sekarang dinamakan
"Teluk Mundur" di sebelah hilir Kuala Mempusun. Di Teluk Mundur ia
kembali mengatur serangan, lalu dengan segera melakukan serangan ke duanya ke
Benteng Mempusun. Setelah perang terjadi beberapa hari, Kapal Baheram mendapat
kerusakan yang semakin parah, dan tidak dapat melanjutkan peperangan lagi. Lalu
pada sorenya Said Osman Syahabuddin memutuskan mundur dan kembali ke Siak Sri
Indrapura menggunakan Kapal Baheram yang dalam keadaan rusak parah. Sesampainya
mereka di seberang kampung Ransang, Kapal Baherampun tenggelam. Dan sejak saat
itu, wilayah tersebut dinamakan "Rasau Baheram", namun Said Osman
Syahabuddin dan pasukannya berhasil kembali ke Siak Sri Indrapura dengan
selamat melalui jalan darat.
Setelah Pasukan Said
Osman Syahabuddin mundur, keluar satu pantun terkenal di masyarakat Pelalawan
saat itu, yang berbunyi sebagai berikut :
Empak-empak diujung
Galah
Anak Toman disambar
Elang
Pelalawan dirompak,
haram tak kalah
Baheram Osman berlayar
pulang.
Perebutan Kekuasaan
Pelalawan
Sekembalinya
pasukan Sayyed Osman Syahabuddin ke Siak Sri
Indrapura, kebencian Pelalawan semakin dalam meskipun tidak ada konflik
langsung yang terjadi antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan dalam beberapa
tahun. Pada masa itu, Datuk Maharaja Sinda dan Pembesar Kerajaan Pelalawan,
mengambil sikap “menentang Siak”. Sikap penentangan ini dibuktikan dengan
seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam yang
berkokok menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siakpun masih
ada hingga saat ini, yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya
terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan,
tidak ke Barat (ke arah Siak).
Sampai pada tahun 1798 M,
Pasukan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Panglima Besar Syarif Abdurrahman
(adik Sultan Syarif Ali Siak),
kembali melakukan penyerangan terhadap Pelalawan. Serangan kedua tersebut
dilakukan melalui dua arah, yaitu pasukan angkatan darat menyerang melalui hulu
Sungai Rasau dan pasukan angkatan laut menyerang melalui muara Sungai Kampar.
Pada pertempuran itu Panglima Besar Kerajaan Pelalawan satu persatu gugur,
termasuk Panglima Kudin dan tunangannya Zubaidah yang gugur di benteng
pertahanan Tanjung Pembunuhan. Kali ini Pelalawan takhluk dibawah tangan Syarif
Abdurrahman. Lalu, Syarif Abdurrahman berdiri sebagai Raja Pelalawan yang
diakui oleh Kakaknya Sultan Syarif Ali dari
Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Pemerintah Hindia Belanda dengan
gelar Sultan Assyaidis Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Setelah Sultan
Syarif Abdurrahman mangkat. Takhta Kerajaan Pelalawan diwariskan secara turun
temurun kepada anak cucu dari Sultan Syarif Abdurrahman sendiri.
Pada beberapa sumber
menyebutkan, sebab kekalahan Pelalawan ialah dikarenakan adanya mata-mata dari
Siak Sri Indrapura yang bernama "Kasim", menyirami seluruh mesiu di
Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat digunakan lagi.
- Akhir Kekuasaan
Pada masa Pemerintahan
Sultan Syarif Harun (1940-1946),
adalah masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan Pelalawan. pada masa
itu Indonesia sengsara di bawah
penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin.
Penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk
kepentingan Jepang, orang-orang diburu untuk dijadikan romusha, dimana-mana terjadi
kesewenang-wenangan.
Demi menjaga kemakmuran
rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan
Pelalawan kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama Orang-orang Besar
bersepakat menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam
Pemerintahan RepublikIndonesia, dan siap
sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tanggal 7 Agustus
2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan mengangkat Tengku
Kamaruddin Haroen bin Sultan
Syarif Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10, dengan Gelar
Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar