KEBERADAAN KESENIAN SINTREN DI PESISIR KOTA TEGAL
Siapa yang tidak bangga terhadap kesenian tradisional
Indonesia yang begitu banyak jumlah dan ragamnya. Dari sekian banyak negara
yang ada di dunia, boleh Indonesia yang paling banyak memiliki kesenian
tradisional. Mulai dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki kesenian
tradisional yang berbeda-beda, dan mereka memiliki kesenian khas daerah mereka
sendiri.
Seiring kemajuan dan perkembangan ternyata banyak kesenian
tradisional, yang nasibnya memprihatinkan. Bahkan kesenian ini keberadaanya di
tengah masyarakat makin dilupakan. Salah satu kesenian tradisional yang makin
dilupakan salah satunya adalah kesenian sintren.
Sintren merupakan kesenian tradisional yang berasal
dari pesisir utara pantai Jawa Barat dan Jawa Tengah. Daerah persebaran
kesenian ini di antaranya di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang,
Brebes, Tegal, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan.
Sintren dikenal juga dengan nama lain yaitu lais.
Kesenian sintren ini sebenarnya merupakan tarian mistis, karena di dalam
ritualnya mulai dari permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis
untuk memanggil roh atau dewa, agar kesenian ini semakin memiliki sensasi seni
yang kuat dan unik.
Asal mula munculnya kesenian ini tidak terlepas dari sebuah
cerita yang melatar belakangi kesenian ini. Kesenian sintren tidak bisa
dilepaskan dengan kisah antara Sulasih dan R. Sulandono seorang putra bupati di
Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari.
Percintaan antara Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui
oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya
untuk bertapa dan diberikan selembar kain (sapu tangan) sebagai sarana kelak
untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih
diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan
sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.
Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa
diadakan berbagai pertunjukan rakyat, maka pada saat itulah Sulasih menari
sebagai bagian pertunjukan dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara
sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya.
Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr.
Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pulalah R. Sulandono
melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat Sulasih trance/kemasukan
roh halus atau kesurupan yang disebut “Sintren” dan pada saat R. Sulandono
melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”.
Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari
maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu ke arah penari sintren.
Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada saat
itulah pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari
sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskannya dengan mengusap wajah penari
sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari sintren itu
dapat melanjutkan menari lagi. Kemudian, penonton yang melemparkan uang
tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren dan itulah pelaksanaan dari
pertunjukan kesenian sintren.
Kesenian sintren yang pada awal perkembangnya dipentaskan
bersamaan datangnya musim panen maupun acara sedekah bumi di suatu desa,
menurut pemerhati seni budaya Erwindho keberadaannya hampir punah karena warga
tidak ada yang menanggap.
Bahkan jika tidak ada upaya melestarikan menurut Erwindho,
kesenian sintren yang merupakan salah satu kekayaan budaya dan sekaligus
sebagai salah satu kearifan lokal, tidak menutup kemungkinan akan punah dari
perbendaharaan budaya bangsa.
Salah satu usaha untuk melestarikan kesenian sintren, selain
perlu seringnya digelar pertunjukan sintren, tidak kalah pentingnya agar
kesenian Sintren, pada setiap acara sedekah bumi maupun acara pesta yang ada di
suatu daerah adalah menarik kalau yang diundang untuk tampil adalah kesenian
sintren. Karenanya dia sangat mendukung kalau di tiap-tiap kecamatan atau
kelurahan, perlu digelar kesenian rakyat, salah kesenian yang ditampilkan
adalah kesenian sintren. Selain itu kesenian Sintren untuk daerah pantura
digelar pentas wayang golek. Minimal pertunjukan rakyat digelar setiap dua
bulan, sehingga warganya saling silaturahmi. Saling tegur sapa. Kalau tiap
kecamatan atau kelurahan, nantinya ada agenda pertunjukan kesenian rakyat
semisal itu pertunjukan wayang kulit atau golek. Atau pertunjukan kesenian
lain, sehingga iklim kesenian di Kota Tegal dan sekitarnya semakin dinamis.
Dalam sejarahnya yang namanya seni tradisional, selain
melekat fungsi hiburan juga sebagai sarana kegiatan upacara bersama. Lebih
jauh, kesenian juga dapat menumbuhkan semangat nasionalisme. Kesenian sebagai
bagian dari kehidupan masyarakat, keberadaannya harus tetap dilestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar