PERPECAHAN
DAN KEMUNDURAN MATARAM ISLAM
Runtuhnya Mataram Islam disebabkan adanya
perpecahan-perpecahan yang ada dalam pengganti-pengganti Sultan Agung. Adanya
perebutan kekuasaan dan campur tangan VOC terhadap Istana Mataram menjadi pemicu
kemunduran Mataram Islam.
- Perpecahan saat Pemerintahan Amangkurat I
Pengganti Sultan Agung Mataram adalah putranya yaitu
Amangkurat I dengan gelar Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman
Sayidin Panatagama. Ia memindahkan keraton dari Kota Gede ke Plered
(Poesponegoro, 2010: 58). Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I terkenal
pemberani, suka berubah-ubah pikiran, lalim, dan kejam.
Amangkurat menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan
terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan
dengan pandangan politiknya.
Sunan Amangkurat I telah memerintah untuk menghukum
mati bapak mertuanya, Pangeran Pekik, bersama banyak anggota keluarganya pada
awal tahun 1659 (Graaf, 1987: 6). Ini berawal saat Pangeran Giri dari Gresik
pergi ke istana seolah-olah dihinggapi kesedihan dan bersujud di hadapan Sunan.
Dia berkata bahwa dia telah di bujuk agar membunuh Sunan. Lalu Sunan bertanya
siapakah yang merencanakan hal tersebut. Pangeran Giri menjawab Pangeran
Surabaya bersama ketiga putranya. Sunan Amangkurat I langsung mengutus anak
buahnya untuk pergi kesanan dan membunuh mereka. Kepalanya dibawa untuk
diperlihatkan kepada sunan. Sebagai imbalannya, Pangeran Giri memperoleh
perempuan cantik yang dibawanya ke Giri.
Menurut Graaf (1987: 11) Dia (Sunan Mangkurat I)
baru saja lagi memecat tiga orang pembesar terpenting kerajaan, yaitu Raden
Miena Poera (Wirapura?), kepala daerah di Tuban, Raden Miena Saraya
(Wiraseraya?), dan Pangeran Macke Bommy atau Pangeran Mangkubumi. Seluruh
Mataram karena itu menjadi kacau.
Tidak hanya perselisihan dengan tokoh-tokoh senior.
Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat
yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa
jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada
Pangeran Singasari. Menurut tulisan tanggal 23 Juli 1970 Sunan menyerahkan
tahtanya atau memerintahkan untuk naik tahta kepada putranya yang ketiga,
bernama Raden Aria Tiron atau Pangeran Singasari (Graaf, 1987: 35). Namun
pemerintahannya tidak berjalan lama, hanya selama delapan hari.
Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi
gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Bulan Oktober
1661, Sunan sudah mencoba membunuh Pangeran Puger (Pangeran Adipati Anom) dan
Pangeran Purbaya, namun karena banyak keluarga terpandang dan dukungan terhadap
mereka ia tidak berani melakukannya secara terbuka (Graaf, 1967: 15).
Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya
yang bernama Rara Oyi.
Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan
dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran
tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk
melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan
pemberontakan terhadap Amangkurat I. Trunojoyo dengan cepat berhasil membentuk
laskar, yang berasal dari rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan
Cakraningrat II, yang kemudian diasingkannya ke Lodaya, Kediri. Tahun 1674
Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai
raja merdeka di Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa
Mataram. Pemberontakan ini diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat Madura,
karena Cakraningrat II dianggap telah mengabaikan pemerintahan.
Pemberontakan Trunajaya pangeran Madura.
Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu
sisa-sisa pendukungSultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun 1668.
Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang tanah untuk
membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.
Kedudukan Trunajaya dan pengikutnya semakin kuat.
Hal ini dapat dilihat pada pertempuran besar di Gegodog pada tahun 1676 antara
pasukan kerajaan dengan pasukan pemberontak yang lebih sedikit, namun dapat
dimenangkan oleh pasukan pemberontak. Inilah yang menjadi awal penyebab
runtuhnya kerajaan (Hendriatmo, 2006: 7).
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan
orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat
I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan
antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia
menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom. Pasukan Trunojoyo bahkan
berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan Adipati Anom yang
berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1676. Tanpa diduga, Trunojoyo
berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered.
Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya
dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami
kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di Tegal dan
dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum. Sesudahnya, Susuhunan
Amangkurat I kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal
Arum.
- Perpecahan Saat Pemerintahan Amangkurat II
Putera Mahkota atau Pangeran Adipati Anom segera
dinobatkan menjadi Susuhunan Ing Alaga dengan memakai gelar yang sama yaitu
Amangkurat II. Dalam usahanya memadamkan pemberontakan, segera mengadakan
perjanjian kerja sama dengan VOC yang diwakili oleh Admiral Speelman (Hendriatmo,
2006: 8). Dan Mataram secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk
melawan Trunojoyo. Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara,
September 1677 yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan
pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan
Trunojoyo.
Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung
timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
Perjanjian itu segera diikuti dengan dikirimnya ekspedisi pasukan di bawah
pimpinan Antonio Hurdt untuk mengejar laskar-laskar pemberontak. Peperangan
berjalan cukup sengit dan diakhiri dengna tewasnya Panembahan Rama serta
ditangkapnya Trunajaya oleh Kapitan de Jonker (Hendriatmo, 2006: 8). Dengan
bantuan VOC,
ia berhasil mengakhiri pemberontakanTrunajaya tanggal
26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajayadengan
tangannya sendiri pada 2 Januari 1680. Pangeran Puger akhirnya menyerahkan diri
dan diberi ampun oleh Amangkurat II dan diterima kembali di lingkungan istana.
Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun
istana baru di hutan Wanakerta karena istana Plered diduduki
adiknya, yaitu Pangeran Puger. Istana barutersebut
bernama Kartasura. Pangeran
Puger yang semula menetap di Kajenar pindah ke Plered setelah
kota itu ditinggalkan. Perang antara Plered dan Kartasura meletus
pada bulan November 1680. Babad Tanah
Jawi menyebutnya sebagai perang antara Matarammelawan Kartasura.
Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November 1681 Pangeran
Pugermenyerah kalah. Babad Tanah
Jawi menyebut Mataram runtuh
tahun 1677, sedangkan Kartasura adalah kerajaan baru sebagai penerusnya.
Amangkurat II dikisahkan sebagai raja berhati lemah
yang mudah dipengaruhi.Pangeran Puger adiknya, jauh lebih
berperan dalam pemerintahan. Ia naik takhta atas bantuan VOC dengan hutang
atas biaya perang sebesar 2,5 juta gulden. Tokoh anti VOCbernama Patih
Nerangkusuma berhasil menghasutnya agar lepas dari jeratan hutang tersebut.
Perasaan sakit hati yang diam-diam muncul pada diri Sunan akibat dari
Perjanjian 1677 membuat rasa permusuhan kepada kompeni.
Pada tahun 1685 Amangkurat II menampung
buronan VOC bernama Untung
Suropati yang tinggal di rumah Patih Nerangkusuma. Ketika itu
di Batavia muncul perlawanan untung Surapati melawan VOC (Wiharyanto, 2006:
19). Untung Suropatidiberinya tempat tinggal di desa
Babirong untuk menyusun kekuatan. Bulan Februari 1686 Kapten François Tack tiba
di Kartasura untuk
menangkap Untung Suropati. Amangkurat II pura-pura
membantu VOC.
Pertempuran terjadi. Pasukan Untung
Suropatimenumpas habis pasukan Kapten Tack. Sang kapten sendiri mati
dibunuh oleh pasukan Untung Suropati. Amangkurat II kemudian merestui Untung
Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan.
Anggajaya bupati Pasuruan yang semula diangkat Amangkurat II terpaksa
menjadi korban. Ia melarikan diri ke Surabaya bergabung
dengan adiknya yang bernama Anggawangsa alias Adipati
Jangrana.
Sikap Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar.
Pihak VOC menemukan
surat-surat Amangkurat II kepada Cirebon, Johor, Palembang,
dan bangsa Inggris yang
isinya ajakan untuk memerangi Belanda.
Amangkurat II juga mendukung pemberontakanKapitan
Jonker tahun 1689. Pihak VOC menekan Kartasura untuk
segera melunasi biaya perang Trunajaya sebesar
2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri berusaha memperbaiki hubungan dengan
pura-pura menyerang Untung Suropati di Pasuruan.
Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi
perebutan takhtaKartasura antara putranya, yaitu Amangkurat
III melawan adiknya, yaitu Pangeran
Puger.
- Perpecahan Saat Pemerintahan Amangkurat III
Amangkurat III naik takhta di Kartasura menggantikan Amangkurat II yang
meninggal tahun 1703.
Konon, menurut Babad Tanah Jawi, sebenarnya wahyu keprabonjatuh
kepada Pangeran Puger. Kedekatan Sunan yang baru ini
kepada tokoh-tokoh nasionalis di istana juga dengan Surapati sewaktu masih
sebagai Pangeran Adipati Anom, membuatnya mengambil sikap permusuhan dengan
Kompeni lebih terbuka. Sementara itu, Pangeran Puger yang memiliki pengaruh
yang cukup kuat dikalangan bangsawan keraton dipinggirkan perannya dalam
menentukan kebijakan di keraton. Hal ini disebabkan kekhawatirannya terhadap
karisma Pangeran Puger. Namun hal ini adalah pangkal kesalahnnya yang akan
membuatnya kehilangan tahta (Hendriatmo, 2006: 13).
Dukungan terhadap Pangeran
Puger pun mengalir dari para pejabat yang tidak menyukai
pemerintahan raja baru tersebut. Hal ini membuat Amangkurat III resah. Ia
menceraikan Raden Ayu Himpun dan mengangkat permaisuri baru, seorang gadis dari
desa Onje. Tekanan terhadap keluarganya membuat Raden Suryokusumo (putra Pangeran
Puger) memberontak. Amangkurat III yang ketakutan segera
mengurung Pangeran Pugersekeluarga. Mereka kemudian
dibebaskan kembali atas bujukan Patih Sumabrata. Dukungan terhadap Pangeran
Puger untuk merebut takhta kembali mengalir. Akhirnya, pada
tahun 1704,
Amangkurat III mengirim utusan untuk membunuh Pangeran
Pugersekeluarga, namun sasarannya itu lebih dulu melarikan diri
ke Semarang.
Pangeran Puger di Semarang mendapat
dukungan VOC,
tentu saja dengan syarat-syarat yang menguntungkan Belanda.
Ia pun mengangkat dirinya sebagai raja bergelarPakubuwana I.
Terjadilah perang saudara untuk memperebutkan hak atas mahkota Mataram, yang
lazim dikenal sebagai Perang Perebutan Tahta I (1704-1709).
Gabungan pasukannya bergerak tahun 1705 untuk
merebut Kartasura.
Pada awalnya, Susuhunan Hamangkurat Mas Mendapat dukungan dari sebagian besar
bupati termasuk para bupati di pesisir utara dari Tegal hingga Surabaya. Hanya
penguasa Madura sajalah yang masih tetap setia di pihak Kompeni (Hendriatmo,
2006: 13). Amangkurat III membangun pertahanan di Ungaran dipimpin
Pangeran Arya Mataram, pamannya, yang diam-diam ternyata mendukung Pakubuwana I.
Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya meninggalkan Kartasura.
Ia sendiri kemudian bergabung denganPakubuwana I,
yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.
Pemerintahan Amangkurat III yang singkat ini
merupakan kutukan Amangkurat Iterhadap Amangkurat II yang
telah meracuni minumannya ketika melarikan diri saatKesultanan Mataram runtuh akibat
pemberontakan Trunajaya tahun 1677 silam. Konon,Amangkurat II dikutuk
bahwa keturunannya tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang (Amangkurat
III) dan itu pun hanya sebentar. Kisah pengutukan ini terdapat dalam Babad Tanah
Jawi yang ditulis pada masa pemerintahan raja keturunan Pakubuwana I sehingga
kebenarannya sulit dibuktikan.
Setelah pertahanan di Ungaran jatuh, dan kemudian
diikuti pula dengan jatuhnya Salatiga, jalan menuju Kartasura terbuka lebar dan
pada tanggal 11 September 1705 Kartasura dapat dikuasai oleh pasukan Kompeni
dan para pendukung Paku Buwono. Rombongan Amangkurat III melarikan diri
ke Ponorogo sambil
membawa semua pusakan keraton. Di kota itu ia menyiksa Adipati Martowongso
hanya karena salah paham. Melihat bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo memberontak.
Amangkurat III pun lari keMadiun. Dari sana ia kemudian pindah ke Kediri. Untung
Suropati bupati Pasuruan yang
anti VOC segera
mengirim bantuan untuk melindungi Amangkurat III.
Ekspedisi militer segera dikirim ke Jawa Timur di
bawah pimpinan Govert Knol untuk memadamkan pemberontakan Sunan Mas dan
Surapati (Hendriatmo, 2006: 14). Gabungan pasukan Kartasura, VOC, Madura,
dan Surabaya bergerak
menyerbu Pasuruantahun 1706. Pada tahun 1706
Benteng di Bangil jatuh di sertai gugurnya Untung Surapati dalam pertempuran
itu. Putra-putranya kemudian bergabung dengan Amangkurat III diMalang.
Sepanjang tahun 1707 Amangkurat
III mengalami penderitaan karena diburu pasukan Pakubuwana I.
Dari Malang ia
pindah ke Blitar,
kemudian ke Kediri.
Kompeni membariskan pasukannya ke Carat, dekat Kapar di tepi Sungai Porong pada
15 September 1707. Pada pertempuran terakhir yang sangat menentukan di lembah
Sangiri, Pegunungan Tengger, pasukan Kompeni berhasil memenangkan pertempuran
dan Susuhunan Mas kembali melarikan diri ke Malang. Akhirnya dia memutuskan
menyerah di Surabaya tahun1708.
Pangeran Blitar,
putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya meminta
Amangkurat III supaya menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak.
Amangkurat III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I. VOC kemudian
memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia.
Dari sana ia diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka.
Amangkurat III akhirnya meninggal di negeri itu pada tahun 1734. Konon, harta pusaka
warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka.
Pada masa pemerintahan Amangkurat III Mataram berada
penuh dalam kondisi perang yang cukup lama. Ini menandakan semakin tidak
berdayanya Mataram dalam menghadapi kekuatan Kompeni dan juga campur tangan
Kompeni terhadap ketatapemerintahan Mataram.
- Perpecahan Saat Pemerintahan Paku Buwono I
Kemenangan Susuhunan Paku Buwono I dalam Perang
Perebutan Mahkota I, harus dibayar mahal dengna ditandatanganinya perjanjian
dengan Kompeni pada tahun 1705 yang berisikan antara lain:
(1) Pengesahan kembali hasil perjanjian 1677 yang
masih meragukan
(2) hak kekuasaan Mataram atas Priangan dihapuskan
dan hak kekuasaan atas daerah Priangan menjadi milik Kompeni garis yang
menghubungkan Sungai Cilosari dan Citanduy dijadikan tapal batas antara wilayah
Mataram dan Kompeni
(3) penegasan batas wilayah Kompeni di Semarang
(4) Pamekasan dan Sumenep menjadi hak Kompeni
(5) perluasan hak-hak monopoli dan hak istimewa
Kompeni di setiap Bandar pelabuhan perdagangan Mataram
(6) kewajiban Mataram untuk menyerahkan 800 koyan
beras setiap tahun untuk periode 25 tahun.
Dengan adanya perjanjian tersebut, Mataram
kehilangan seluruh wilayahnya di Priangan (Jawa Barat) dan Sumenep – Pamekasan
(Madura Timur). Wilayah Mataram hanya meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
ditambah Madura Barat. Susuhunan Paku Buwono I wafat pada tanggal 22 Februari
tahun 1719.
- Pemerintahan Amangkurat IV
Setelah Paku Buwono I meninggal, putera keempat
Susuhuan yang bernama Raden Mas Suryoputro yang kemudian bergelar Pangeran
Adipati Anom (putera mahkota) dinobatkan menjadi susuhunan dengan gelar Prabu
Hamangkurat IV. Sunan baru ini juga lebih dikenal dengan sebutan Hamangkurat
Prabu atau Hamangkurat Jawi. Diletakannya sebutan Jawi mungkin dikarenakan
Sunan baru ini hanya memerintah wilayah belahan Jawa (Jawa Tengah dan Jawa
Timur).
Pada masa awal pemerintahannya, Pangeran Diponegoro,
putera dari Sunan Paku Buwono I melakukan pemberontakan dan bersatu dengan
Adipati Jayapuspita dari Surabaya. Pangeran Diponegoro menobatkan dirinya
sebagai Panembahan Herucakra dan berkeraton di desa Panonan, Sukowati.
Kebijaksanaan Sunan Hamangkurat IV untuk menurunkan
kedudukan kedua orang saudaranya, Pangeran Purbaya dan Pangeran Balitar menjadi
pangeran sentana, menjadi sebab utama terjadinya pemberontakan yang dipimpin
oleh kedua orang pangeran yang diikuti oleh beberapa bangsawan keratin lainnya.
Pangeran Harya Mataram, saudara dari susuhunan turut bergabung dengan pemberontak
pada tahun yang sama.
Perang antara Sunan Hamangkurat IV dengan
pemberontak para bangsawan ini berlangsung cukup lama, kurang lebih empat tahun
dan dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). Dengan
bantuan Kompeni, Susuhunan dapat menundukkan pemberontakan itu. Pangeran Harya
Mataram bersama putranya dihukum mati. Pepatih Dalem, Adipati Cakrajaya
ditangkap di Semarang dan Pangeran Balitar wafat. Pangeran Purbaya dan Pangeran
Diponegoro Herucaraka dapat ditangkap di Pasuruan dan kemudian dibuang ke
Tanjung Harapan, Afrika.
Pada masa akhir kekuasaannya, menjelang wafatnya,
Sunan meminta bantuan kepada Kompeni dalam menetapkan penggantinya, diantara
putera-puteranya. Susuhunan wafat pada tanggal 22 April 1727.
- Pemerintahan Paku Buwono II
Pada tanggal 29 April 1727 Pangeran Adipati Anom
yang masih berusia 16 tahun dinobatkan menjadi Susuhunan dengna gelar Paku
Buwono II. Pada tahun 1740 pecah keributan antara orang Tionghoa
dengan Belanda yang menjalar dari Batavia ke Jawa Tengah. Di Batavia, lebih
dari 10.000 orang Tionghoa mati terbunuh oleh Belanda. Akibat peristiwa itu,
Keraton Mataram yang beribukota di Kartasura mengalami kekacauan. Paku Buwono
II tidak dapat mengatasi kerusuhan yang timbul akibat adanya aliansi antara
elit bangsawan dengan para pengusaha Cina. Paku Buwono II terpaksa mengungsi ke
daerah sekitar Gunung Lawu. Peristiwa ini terkenal dengan sebutan Geger
Pacinan.
Para patriot Mataram bekerja sama dengan pasukan
Tionghoa yang melawan Belanda. Di Kartasura, Paku Buwana II berhasil merebut
benteng Belanda yang berada dekat keraton. Tetapi VOC dengan bantuan Panembahan
Cakraningrat dari Madura Barat dapat mematahkan kepungan pasukan Jawa dan
Tionghoa, dan Kartasura diduduki kembali oleh Belanda. Paku Buwono II menjadi
kembali memihak VOC.
Para pendukung Raden Mas Garendi, cucu Sunan Mas
memproklamirkannya sebagai Susuhunan yang sah dan bersama pasukan Tionghoa
menggempur keraton. Namun, ia dijatuhkan oleh pasukan Belanda dari tahtanya dan
Paku Buwono II dipulihkan pada kedudukannya. Paku Buwono II harus membayar
mahal pertolongan VOC ini. Kekuasaan Belanda terpaksa diterimanya diseluruh
Mataram dan kepada VOC diberikan hak membuat mata uang sendiri di Pulau Jawa.
Paku Buwono II meninggalkan Kartasura yang rusak berat akibat berbagai
pertempuran, dan pindah ke Surakarta tahun 1744.
Sebagai imbalannya VOC minta diperbolehkan
intervensi atas pemerintahan Mataram. Kedaulatan Keraton Surakarta benar-benar
diintervensi oleh VOC. Sesudah itu terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh
Raden Mas Said yang dibantu Pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II. Pangeran
Mangkubumi tidak terima kalau Negara warisan leluhurnya diserahkan kepada
bangsa penjajah. Sejak tahun 1744 semuanya harus loyal kepada VOC.
Dikeraton Surakarta, Paku Buwono II dalam keadaan
sakit keras dipaksa untuk menandatangani perjanjian yang merupakan penyerahan
Negara Mataram seluruhnya kepada VOC. Dengan terlaksananya perjanjian itu,
tamatlah sudah riwayat Kerajaan Mataram. Ketika Pangeran Mangkubumi mendengar
kabar tersebut, dia sangat marah dan Susuhunan Paku Buwono II menyatakan diri
turun tahta dengan maksud mbegawandan seterusnya memakai gelar Kyai Ageng
Mataram.
- Pemerintahan Paku Buwono III
Sunan Paku Buwono III tetap meneruskan kebijakan
politik pendahulunya. Ketegangan yang mengeras berubah menjadi peperangan
berkepanjangan antara keraton yang disokong penuh oleh VOC melawan pangeran
Mangkubumi yang beraliansi dengan Raden Mas Said. Perang terbuka dan gerilya
selama 6 tahun (1749-1755) ternyata cukup melelahkan kedua belah pihak. Pada
tanggal 13 Februari 1755 dicapai kesepakatan antara Sunan Paku Buwono III
dengan Pangeran Mangkubumi. Isi perjanjian itu bahwa Pangeran Mangkubumi diberi
separuh kerajaan Mataram dengan ibukota di Yogyakarta. Perjanjian ini disebut
Perjanjian Giyanti atau Babad Palihan Negari (Purwadi, 2008: 29).
Perjanjian Giyanti ini intinya adalah membagi Negara
Mataram menjadi dua bagian. Separuh diperintah oleh Susuhunan Paku Buwono III
dengan ibukota Surakarta, bagian yang lain dikuasai oleh Susuhunan Kebanaran
yang sejak itu berganti gelarnya menjadi Sultan Hamengku Buwono I, dengan
ibukota Ngayogyakarta.
Permusyawaratan antara Kompeni (Hartingh), Sunan Mas
Said dan Danurejo I (utusan dari Sultan) terjadi pada Kamis, 17 Maret 1757.
Dalam pertemuan itu Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyowo diagkat menjadi
Pangeran Miji dengan upacara istimewa dan diberi lungguh sebesar 4000 karja
yang sebagian ialah Daerah Kaduwang, yang lain terletak di Laroh, Matesih dan
Gunungkidul. Raden Mas Said kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Arya Mangkunegoro I. Kejadian ini berdasarkan perjanjian Salatiga yang
ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757. Dengan demikian Keraton Surakarta
pun kekuasaannya telah dikurangi Pura Mangkunegaran. Perkembangan selanjutnya,
kerajaan Yogyakarta juga mengalami penyusutan. Pada tanggal 28 Desember 1811,
Keraton Yogyakarta terbagi dengan Pura Paku Alaman (Purwadi, 2008: 32).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar